Kamis, 19 Juli 2012

Rejeki Tak Akan Tertukar







“Tih, kemaren kan hari Kamis, Tih. Nah, abis kamis hari apa, Tih?” tanyaku pada Fatih Zuhdi, tiga tahunku yang selalu setia di samping kiriku kala aku mengemudi.

“Jumat,” katanya bangga karena bisa menjawab. Tentu saja dia tahu jawabnya setelah spontan menyanyikan lagu “Nama-nama Hari”  dengan suaranya yang bening nan nyaring itu :).

 “Jumat berarti hari nasi buuuung...?” tanyaku lagi.

“KUUUUS!” jawab Fatih dan Hani penuh semangat.

Tiap hari Jumat, aku dan anak-anak biasanya membeli sebungkus nasi berlauk pauk istimewa untuk dihadiahkan pada seseorang. Sama sekali bukan bermaksud membatasi infak hanya hari Jumat, atau memberi hanya sebatas sebungkus nasi saja, tentu. Aku hanya ingin membiasakan anak-anak belajar beramal yang sederhana, tapi rutin dan langgeng, insya Allah.

Menggambar Mimpi #1


Pernah menggambar mimpi?  Aku pernah melakukannya sekitar lima tahun yang lalu dalam sebuah workshop kepenulisan di TK Alam tempat aku menjadi kepala sekolah.

Workshop  kecil-kecilan, pesertanya mungkin hanya lima atau enam, tapi kenangan tentangnya terjangkar kuat di dasar hatiku hingga kini.

Kami diberikan secarik kertas dan sebatang pinsil, lalu diminta oleh sang trainer menggambar rumah impian kami secara spontan. Home, bukan house :)

Lalu aku menggambar sebuah rumah yang terang dan lapang, di depannya ada halaman yang luas. Anak lelakiku bermain bola. Anak perempuanku sedang menggambar. Dari dapur tercium aroma kue yang sedang dipanggang. Aku sendiri asyik bekerja di depan laptop, sebagai penulis, di ruang kerjaku yang penuh buku-buku sambil sesekali mengawasi anak-anak dari jendela kaca.

Saat itu, aku belum punya anak. Bahkan didiagnosa infertilitas dalam usia pernikahan yang sudah lima tahun.

Saat itu, yang kutulis ‘hanyalah’ rencana pembelajaran sehari-hari dan raport narasi murid-murid.

Yang kugambar benar-benar ‘hanya’ mimpi.